Minggu, 28 Agustus 2011

CONTOH MAKALAH ATAU PAPER

Zhihar Dalam Pandangan Al-Qur’an(Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4)

P A P E R

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian Mu’allimien di Pesantren Persatuan Islam 67 Benda Taskimalaya




Disusun oleh :
Faisal Umar Muhtar 
091010027

MU’ALLIMIEN PESANTREN PERSATUAN ISLAM 67 BENDA 
Jalan Benda Nagarasari No.15 Telp. (0265) 330006-332598 Tasikmalaya Kode Pos      46132, Website : www.persis67benda.com                                                                         2011/2012
Zhihar Dalam Pandangan Al-Qur’an                                                                                       (Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4)

P A P E R

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian Mu’allimien                                                   di Pesantren Persatuan Islam 67 Benda Taskimalaya




Disusun oleh :
Faisal Umar Muhtar                                                                                                    091010027

MU’ALLIMIEN PESANTREN PERSATUAN ISLAM 67 BENDA                                     Jalan Benda Nagarasari No.15 Telp. (0265) 330006-332598 Tasikmalaya                                   Kode Pos 46132, Website : www.persis67benda.com                                                                         2011/2012
LEMBAR PENGESAHAN


































_________________________________
MU’ALLIMIEN PESANTREN PERSATUAN ISLAM 67 BENDA                                     Jalan Benda Nagarasari No.15 Telp. (0265) 330006-332598 Tasikmalaya                                   Kode Pos 46132, Website : www.persis67benda.com                                                                         2011/2012
KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحيم
            Segala puji bagi Allah SWT. sebagai pemelihara, sekaligus pencipta alam semesta beserta isinya. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah menuntun umatnya dari zaman Jahiliyah ke zaman Islamiyah, serta menuntun umatnya kepada kehidupan yang benar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah.
            Berkat rahmat dan ‘inayah-Nya, serta didorong oleh kemampuan yang Alhamdulillah pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan mengangkat judul “ZHIHAR DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN (Q.S AL-MUJADILAH : 2-4)”
            Dalam pembuatan karya tulis ini,penulis sadar akan banyaknya kesalahan dan kekurangan yang ada pada diri penulis. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan dan bimbingan baik moril maupun materil kepada yang terhormat :
1.     Orang tua dan seluruh keluarga tercinta yang telah memberi segala bantuan, do’a, nasihat, dan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan tugasnya di  Pesantren Persatuan Islam 67 Benda.
2.     Drs. KH. Shiddiq Amien, MBA (Alm) selaku guru besar sekaligus menjadi inspirator yang dapat memberikan semangat dan menjadi panutan bagi penulis.
3.     Al-Ustadz H. Muhtarom Amien selaku Mudirul ‘Am Pesantren Persatuan Islam 67 Benda.
4.     Al-Ustadz H. Asep Abdul Hamid Amien S.Pd., M.Ag, selaku Mudirul Mu’allimien Pesantren Persatuan Islam 67 Benda.
5.     Al-Ustadzah Ai Shofiyah Amien sebagai pembimbing I dan Al-Ustadz Drs. Hamid Shiddiq, M,Pd.I sebagai pembimbing II, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.
6.     Al-Ustadzah Rosmawati selaku wali kelas 3 Mu’allimien IPS yang selalu memberi motivasi  serta nasihat yang berharga bagi penulis.
7.     Seluruh Asatidz dan Asatidzah yang telah membimbing dan membekali penulis berbagi ilmu, serta semua pihak yang telah membantu kelancaran karya tulis ini, penulis menghaturkan Jazakumullahu khairan katsiran.
8.     Serta seluruh teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.
Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menyadari sepenuhnya akan kekeliruan dan kesalahan yang terdapat di dalam karya tulis ini. Meskipun penulis telah berusaha dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun yang dapat membangkitkan semangat dan meningkatkan kmampuan penulis dimasa yang akan datang.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita berserah diri sebab kepada siapa lagi kita meminta pertolongan selain hanya kepada-Nya dan mudah-mudahan segala yang telah klita perbuat selama ini diridhai oleh-Nya.

الله ياء خذ باء يد ينا الى ما فيه خيرا للاسلام والمسلمين

Tasikmalaya, September 2011           
Penulis,













DAFTAR ISI

Hal
Kata Pengantar.............................................................................................
Daftar Isi........................................................................................................
BAB I         PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang Masalah.....................................................
1.2    Perumusan Masalah...........................................................
1.3    Tujuan Penulisan................................................................
1.4    Metode Penulisan...............................................................
BAB II        RINCIAN PENAFSIRAN Q.S AL-MUJADILAH  AYAT 2-4 MENGENAI ZHIHAR
2.1    Pengertian Zhihar...............................................................
2.2    Kedudukan Zhihar pada zaman Jahiliyah...........................
2.3    Teks ayat dan terjemah Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4............
2.4    Munasabah Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4...............................
2.5    Sababun Nuzul Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4.........................
2.6    Tafsiran Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4.....................................
2.6.1 Analisis Mufrodat dan ayat........................................
2.6.2 Hukum Zhihar............................................................
2.6.3 Kifarat Zhihar.............................................................
2.7    Hikmah dilarangnya Zhihar.................................................
BAB III       PENUTUP
3.1    Kesimpulan.........................................................................
3.2    Saran-saran........................................................................

Daftar Pustaka
Riwayat Hidup

















BAB I
PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang Masalah
          Allah SWT menciptakan manusia dalam dua jenis yang berbeda, yaitu ada laki-laki dan ada perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT :
49:13
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S Al-Hujurat : 13).
            Pernikahan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Allah SWT, baik pada manusia, tumbuhan, maupun hewan. Pernikahan juga merupakan suatu cara sebagai jalan bagi seluruh makhluk khususnya manusia untuk menciptakan keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah, serta masing-masing pasangan siap untuk melakukan peran positif dalam mewujudkan tujuan pernikahan.
            Namun, terkadang ada orang yang ragu-ragu untuk menikah, karena sangat takut untuk memikul beban yang sangat berat dan menghindarkan diri dari berbagai kesulitan. Islam mengingatkan bahwa dengan menikah Allah SWT memberikan kepadanya kehidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya, memberikan ketenangan serta menumbuhkan rasa kasih sayang dikalangan suami-istri. 
            Allah SWT memerintahkan pada suami untuk menggauli istrinya dengan jalan yang baik, sebagaimana dalam Q.S An-Nisa ayat 19 :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ.....
Artinya : “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
Namun demikian, sebagaimana layaknya dalam sebuah keluarga suatu masalah baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja terkadang ada. Dan sudah menjadi keharusan apabila suatu masalah itu datang maka masalah tersebut harus dipecahkan tentunya masalah tersebut mesti dipecahkan dengan hukum Allah.
Dengan turunnya surat Al-Mujadilah ayat 1-4 sebagai jawaban atas gambaran yang konkrit tentang adanya wujud pertalian dan hubungan yang kuat dan tidak terputus antara langit dan bumi. Keterlibatan antara langit dengan kejadian sehari-hari di bumi meskipun terhadap sebuah keluarga kecil yang tidak memiliki keistimewaan apapun. Namun, karena semata-mata untuk menciptakan keadilan bagi hamba-hambanya Allah SWT akhirnya menetapkan hukum untuk mewujudkan ketentraman bagi seluruh umat manusia di muka bumi.
Allah SWT akan senantiasa hadir mengawasi dan memperhatikan kebutuhan dan tuntutan hamba-Nya. Sesaatpun Allah SWT tidak akan pernah lalai terhadap situasi dan keadaan hamba-Nya. Siapapun tanpa terkecuali seperti yang terjadi pada seorang wanita tua yang menyampaikan keperihan hatinya dan menuntut hak seorang istri atas perlakuan suaminya yang tidak menghormati hak istrinya. Dalam Firman Allah SWT :
58:1
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Dalam ayat tersebut serta lanjutan ayatnya terekam suatu keberanian dan ketegaran seorang wanita dalam menghadapi persoalan internal rumah tangganya. Yaitu seorang perempuan yang di zhihar oleh suaminya, dengan ucapan bahwa istrinya tersebut tidak ada bedanya dengan punggung ibu kandungnya yang dimaksud adalah si istri sudah haram bagi si suami. Seorang istri memang dituntut untuk memiliki kesabaran yang ekstra serta tidak mudah patah semangat dalam menghadapi apapun mengenai persoalan rumah tangga yang menjadi sunnah dan romantika kehidupan keluarga.
            Maka dari itu jelaslah zhihar merupakan ungkapan yang menyakitkan hati seorang wanita karena kata-kata seperti itu jelas menunjukan sikap seorang suami yang tidak memperdulikan atau cenderung tidak menghargai pengorbanan dan layanan istrinya. Bahkan dengan teganya ia mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan istrinya seakan-akan ia tidak pernah merasakan manisnya kehidupan berkeluarga selama ia hidup berdampingan bersama istrinya.

Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis akan membahas dan mencari jawaban dari sedikit permasalahan tersebut, dan penulis tertarik untuk mengangkat judul “ZHIHAR DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN”
             
1.2     Rumusan Masalah
            Berdasarkan Latar Belakang Masalah di atas, maka penulis merumuskan masalahnya menjadi :
1.  Apa pengertian Zhihar ?
2.  Bagaimana kedudukan Zhihar di zaman Jahiliyah ?
3.  Bagaimana Teks ayat dan Terjemah Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4 ?
4.  Bagaimana Munasabah Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4 ?
5.  Bagaimana Sababun Nuzul Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4 ?
6.  Bagaimana hasil analisis Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4 ?
7.  Apa hukum Zhihar yang terkandung dalam Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4 ?
8.  Apa kifarat Zhihar yang terkandung dalam Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4 ?
1.3     Tujuan Penulisan
     1.  Untuk mengetahui pengertian Zhihar
     2.   Untuk mengetahui kedudukan Zhihar di zaman Jahiliyah
     3.   Untuk mengetahui Teks ayat dan Terjemah Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4
     4.   Untuk mengetahui Munasabah Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4
     5.   Untuk mengetahui Sababun Nuzul Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4
     6.   Untuk mengetahui hasil analisis Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4
     7.   Untuk mengetahui hukum Zhihar dalam Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4
     8.   Untuk mengetahui kifarat  Zhihar dalam Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4

1.4     Metode penulisan
          Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan atau bibliografi dengan langkah-langkah sebagai berikut :
Langkah Pertama   :Mengumpulkan bahan-bahan materi yang berkaitan       dengan pembahasan;
Langkah Kedua       :Mengklasifikasikan data atau bahan yang ada kaitannya dengan permasalahan;
Langkah Ketiga       :Menganalisa dan membahas materi.
BAB II
RINCIAN PENAFSIRAN Q.S AL-MUJADILAH AYAT 2-4 MENGENAI ZHIHAR

2.1     Pengertian Zhihar
Zhihar diambil dari kata Zhahrun dalam bahasa Arab yang artinya punggung. Sedangkan menurut Istilah Syara’  zhihar  ialah apabila seorang suami bersumpah kepada istrinya untuk tidak mencampuri istrinya dengan menyerupakan istrinya dengan ibu kandungnya sendiri ataupun dengan seseorang yang haram untuk dinikahi oleh si suami (mahram). Seperti perkataan, “Kamu bagiku bagaikan punggung ibuku”. Kata itu disandarkan kepada ibu, karena ibu adalah salah satu perkara yang diharamkan untuk dinikahi.
Setelah zhihar, hubungan pernikahan antara suami istri belum terputus hanya saja si istri tidak boleh dicampuri lagi oleh suaminya dan kesempatan untuk menikah dengan orang lain menjadi terhalang disebabkan masih ada ikatan nikah dengan suaminya.
2.2     Kedudukan Zhihar di zaman Jahiliyah
Sa’id bin Jubair mengatakan bahwa zhihar pada zaman Jahiliyah berkedudukan sebagai talak. Kemudian Allah SWT memberikan keringanan kepada umat Islam dengan memberlakukan kifarat bagi pelakunya dan tidak dikategorikan sebagai talak, sebagaimana yang menjadi sandaran mereka pada masa Jahiliyah.
Zhihar dilakukan oleh seorang suami kepada istrinya di zaman Arab Jahiliyah biasanya karena suami tidak mencintai istrinya lagi atau karena marah kepada istrinya. Perbuatan yang demikian (zhihar) biasa terjadi di kalangan orang-orang Arab Jahiliyah karena memandang rendah derajat wanita. Sedangkan Islam mensetarakan derajat antara laki-laki dan perempuan sebab di sisi Allah SWT hanya ketakwaanlah yang bembedakan derajat mereka.
Di periode atau di zaman Islam yang pertama kali melakukan zhihar adalah ‘Aus bin Shamit saudaranya ‘Ubadah bin Shamit yang menzhihar istrinya yang kemudian ia menyesali atas   perbuatannya.
2.3     Teks ayat dan Terjemahnya Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4
58:2
Artinya: “Yaitu orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya) padahal istri-istri mereka bukanlah ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sungguh mereka benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang mungkar lagi dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Q.S Al-Mujadilah : 2).
58:3
Artinya: “Dan mereka yang menzhihar istrinya, kemudian menarik kembali atas apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan hamba sahaya sebelum keduanya bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha teliti atas apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Mujadilah : 3).
58:4
Artinya: “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya), maka (wajib baginya) shaum dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Dan barang siapa yang tidak mampu (wajib baginya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (Q.S Al-Mujadilah : 4).
2.4     Munasabah Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4
 Pada ayat sebelumnya Allah SWT menyeru orang-orang yang beriman agar bertakwa kepada-Nya dan mengimani Rasul-Nya niscaya Allah SWT akan  memberikan rahmat-Nya kepada mereka dan menjadikan cahaya bagi mereka sehingga mereka dapat berjalan menuju jalan yang lurus. Dan Dia yang mengurusi mereka. Hal tersebut diterangkan agar Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) mengetahui bahwa mereka tidak mendapatkan sedikitpun dari karunia-Nya, jika mereka tidak beriman kepada Nabi Muhammad SAW.
Sebelum menginjak pada ayat ke-2 dari surat Al-Mujadilah pada ayat ke-1 diterangkan bahwa Allah SWT benar-benar telah mendengar perkataan perempuan yang mengajukan pengaduan kepada Nabi Muhammad SAW. tentang suaminya sebagai bukti keimananya kepada Allah dan Rasul-Nya untuk mendapatkan jawaban dan penyelesaian atas zhihar yang telah dilontarkan oleh suaminya, Allah Maha mendengar lagi Maha melihat terhadap pengaduan perempuan tersebut.
Dalam Q.S Al-Mujadilah ayat ke 2-4 diterangkan bahwa seseorang tidak boleh menyerupakan istrinya dengan ibunya ataupun dengan perempuan-perempuan lain yang dianggap haram untuk dinikahi. Dan ditegaskan pula bahwasanya zhihar merupakan perkataan mungkar dan dusta dan Allah SWT mewajibkan membayar kifarat bagi mereka yang melakukan zhihar sebagai balasan atas apa yang telah mereka perbuat. Adapun kifarat yang harus dibayar ialah memerdekakan hamba sahaya. Tetapi karena sekarang perhambaan sudah tidak zaman atau telah dihapuskan maka ia diwajibkan untuk shaum dalam kurun waktu dua bulan berturut-turut. Tapi kalau misalkan ia benar-benar tidak mampu untuk shaum maka wajib baginya untuk memberi makan kepada 60 orang miskin.
Begitulah kasih sayang Allah SWT yang selalu menyertai hamba-hamba-Nya sehingga adanya rukhshah (keringanan) bagi mereka yang tidak mampu untuk melaksanakan apa yang Allah perintahkan, sungguh Allah takan pernah memberikan suatu beban kepada seorang hamba kecuali ia mampu untuk melaksanakannya.

2.5     Sababun Nuzul Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4
            Dalam banyak riwayat, bahwa Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4 ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa Khaulah binti Tsa’labah dengan suaminya yang bernama Aus bin Shamit. Aus adalah seorang yang telah tua bangka dan agak terganggu pikirannya. Pada suatu hari, karena suatu hal, ia kembali ke rumahnya dalam keadaan marah. Dan berkata kepada istrinya, “Anti ‘alaya ka Zhahri Ummi” yang artinya kamu bagiku bagaikan punggung ibuku yang maksudnya ialah  bahwa ia telah mengharamkan untuk menggauli istrinya sebagaimana haramnya menggauli ibu kandungnya sendiri. Kemudian Aus merasa menyesal atas apa yang telah ia perbuat, maka ia mengajak berdamai dengan istrinya. Tapi istrinya menolak dan berkata, “Demi Allah yang diriku berada dalam kekuasaan-Nya jangan engkau berhubungan denganku lagi. Sungguh aku akan mengatakan semua kejadian ini kepada Rasulullah SAW agar Allah SWT menetapkan hukumnya.”
            Maka datanglah Khaulah menghadap Rasulullah SAW dan menyampaikah hal itu kepada beliau, sambil bercerita, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Aus bin Shamit sewaktu menikahiku dulu aku berada dalam keadaan gadis remaja dan banyak laki-laki yang tertarik kepadaku. Namun, setelah aku bertambah tua dan perutku telah kendur karena banyaknya anak-anak yang aku lahirkan, kemudian dengan seenaknya suamiku berkata padaku bahwa aku haram dicampurinya seperti ia haram mencampuri ibu kandungnya. Jika engkau (wahai Rasulullah) memberikan suatu keringanan yang menggembirakan kepadaku dan kepadanya sampaikanlah kepadaku”. Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Demi Allah aku belum menerima ketentuan dari-Nya tentang hukum masalah ini. Menurut riwayat lain Rasullullah mengatakan, “Engkau haram dicampuri olehnya. Maka Khaulah berdo’a kepada Allah agar menjelaskan hukumnya karena seandainya terjadi perceraian ia hawatir akan keadaan anak-anaknya yang masih kecil.
Menurut suatu riwayat, Aisyah R.A pernah berkata, aku pernah mendengar percakapan antara Rasulullah dengan seorang perempuan yang mengadu kepadanya akan tetapi aku tidak mendengar sebagian percakapannya, ia berada di rumahku dan menyampaikan masalahnya kepada Rasulullah SAW. sambil berkata, “Wahai Rasulullah sejak aku muda sampai tua seperti ini aku telah patuh dan khidmat kepada suamiku dengan sebaik-baiknya namun apakah pantas setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zhihar kepadaku.” Kemudian Aisyah mendengar perempuan itu (Khaulah) berdo’a, “Wahai Allah Tuhanku hanya kepada-Mu tempat aku mengadukan nasibku ini.” Kemudian Allah menurunkan ayat-ayat tersebut.
2.6     Penafsiran Q.S Al-Mujadilah ayat 2-4
          2.6.1  Analisis Mufrodat dan Ayat
            Firman Allah SWT, ( الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَائِهِم) “Orang-orang di antara kamu yang menzhihar istri-istrinya.” Zhihar berasal dari kata Zhahrun yang berarti punggung. Yang demikian itu, karena jika salah seorang dari kalangan orang-orang Arab Jahiliyah menzhihar istrinya, maka ia akan mengatakan, “Kamu bagiku bagaikan punggung ibuku.” Yang dalam syari’at, zhihar dinisbatkan kepada seluruh anggota badan sebagai qiyas kepada punggung.
            Selanjutnya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Imam Malik bahwa orang kafir tidak masuk ke dalam ayat ini (tidak ada kaitannya dengan zhihar), sesuai dengan firman-Nya, (مِنكُم) “Di antara kamu.” Dengan demikian yang menjadi khithab (lawan bicara) hanyalah orang-orang Mukmin.
            Lalu Jumhur ulama menjadikan ayat (مِّن نِّسَائِهِم) “Di antara istri-istri mereka.” Sebagai dalil bahwa seorang hamba sahaya perempuan tidak dapat di zhihar dan tidak pula termasuk ke dalam khithab ayat tersebut.
            Firman Allah SWT, (مَّا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ) “Istri-istri mereka bukanlah ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka.” Yakni, seorang wanita itu tidak menjadi ibu bagi si suami hanya karena si istri dikatakan “Kamu bagiku bagaikan ibuku” atau “Bagaikan punggung ibuku” dan lain-lain semisalnya. Oleh karena itu Allah SWT berfirman, (وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَرًا مِّنَ الْقَوْلِ وَزُورًا) “Dan sungguh mereka mengucapkan perkataan yang munkar dan dusta.” Yakni, perkataan yang keji dan bathil. (وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ) “Dan sesungguhnya Allah Maha pemaaf lagi Maha pengampun.” Yakni, Allah Maha pemaaf lagi Maha pengampun terhadap perbuatan-perbuatan yang datang dari diri orang-orang Mukmin ketika pada masa Jahiliyah. Demikian pula dengan perkataan yang tidak disengaja terucapkan oleh lidah, sedangkan yang mengatakannya sendiri tidak bermaksud demikian. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah SAW pernah mendengar seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya, “Wahai saudariku.” Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah dia memang saudarimu ?”
            Demikian bentuk peringatan dari Rasulullah, tetapi beliau tidak mengharamkannya, karena ia tidak bermaksud demikian. Tetapi, seandainya ia mengucapkan hal tersebut dengan disengaja, maka istrinya menjadi haram baginya. Sebab menurut pendapat yang shahih, tidak ada bedanya antara seorang ibu dengan mahram-mahram lainnya.
            Dan ayat ketiga surat ini dapat dipahami bahwa suami yang menzhihar istrinya memperoleh hukuman yang bersifat ukhrawi dan hukuman duniawi. Hukuman ukhrawi ialah mereka berdosa karena mengatakan yang tidak sepatutnya. Yaitu mengatakan bahwa istrinya haram dicampuri olehnya seperti ia haram mencampuri ibunya. Dalam agama termasuk perbuata yang dilarang apabila seseorang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Karena yang berhak menghalalkan dan mengharamkan hanyalah Allah SWT. Adapun hukuman duniawi ialah membayar kifarat jika ia hendak mencampuri isstrinya kembali, dan kifarat itu cukup besar jumlahnya.
            Para ulama sepakat bahwa menyamakan istri dengan ibu dengan maksud untuk menyatakan kasih sayang kepadanya atau untuk menyatakan penghormatan dan terima kasih kepadanya, tidaklah termasuk zhihar. Karena zhihar itu hanyalah ucapan suami yang menyatakan bahwa istrinya itu haram dicampuri olehnya.
            Perkataan “Anti alaya ka zhahri ummi” merupakan suatu ungkapan (idiom) yang mempunyai arti yang khusus dalam bahasa Arab. Hanyalah orang yang mendalam rasa bahasanya yang dapat merasakan arti ungkapan itu. Oleh karena itu, jika suami yang mengerti bahasa Indonesia, mengucapkan mengucapakan shighat zhihar itu dengan ungkapan yang dpiahami oleh orang Indonesia maka hukum di atas pula baginya.
            Jika seorang suami telah menzhihar istrinya, tidak berarti telah terjadi perceraian anatara keduanya. Masing-masing masih terikat oleh hak dan kewajiban sebagai suami dan istri. Mereka hanya terlarang meakukan persetubukan. Demikian pula untuk menghuindarkan diri dari perbuatan haram, maka haram pula kedua suami istri itu berkhalwat (berduaan di tempat sunyi) sebelum si suami membayar kifarat.
            Agar istri tidak terkatung-katung hidupnya dan menderita karena zhihar, sebaiknya ditetapkan waktu menunggu bagi istri. Waktu menunggunyan dapat diqiyaasan kepada waktu menunggu dalam Ila yaitu empat bulan. Apabila telah lewat waktu empat bulan sejak suami mengucapkan zhiharnya. Sedang suami belum lagi menetapkan keputusan, berceai atau melanjutkan pernikahan dengan membayar kifarat, maka istri berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan. Hakim tentu akan mengabulkan gugatan istri bila gugatan itu terbukti.
            Jika zhihar berakibat perceraian, maka jatuhlah talak ba’in kubra, dimana pernikahan kembali antara bekas suami-istri haruslah dengan syarat membayar kifarat zhihar.
Dan firman Allah SWT, (وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا) “Dan mereka yang menzhihar istrinya, kemudian menarik kembali atas apa yang telah mereka ucapkan.” Para ulama Salaf dan para imam madzhab berbeda pendapat dengan firman Allah SWT, (ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا) “Kemudian menarik kembali atas apa yang telah mereka ucapkan” Dimana sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud (يَعُودُونَ) yaitu kembali kepada zhihar, yang berarti menjatuhkan zhihar berkali-kali. Namun kebanyakan ulama berpendapat bahwa pendapat ini keliru. Berbeda dengan yang diriwayatkan oleh Abu ‘Umar bin ‘Abdil Barr, dari Bakir bin Al-Asyuj dan Al-Farra’ serta sekelompok orang dari Ahlul Kalam and Imam Asy-Syafi’i mereka mengemukakan, “Artinya, si suami menahan istrinya beberapa saat setelah zhihar, yang sebenarnya ia bisa menjatuhkan talak selama waktu itu, tetapi ia tidak melakukannya.”
Imam Ahmad bin Hambal mengemukakan, “Yang dimaksudkan adalah berhubungan badan kembali, atau berniat untuk melakukannya. Maka istrinya tidak lagi halal baginya kecuali setelah ia menunaikan kifaratnya terlebih dahulu.”
Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya serta Al-Laits bin Sa’ad mengungkapkan, “Maksudnya, kembali kepada zhihar setelah diharamkan dan dihapuskannya kebiasaan yang berlaku pada zaman Jahiliyah. Dengan demikian, jika seorang suami menzhihar istrinya, maka si istri telah diharamkan bagi si suami kecuali setelah ia membayar kifarat.
Berbeda dengan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, “Bahwa yang dimaksud adalah memasukan alat kelamin.” Menurutnya, tidak ada larangan mencampuri istri dengan syarat tidak memasukan alat kelaminnya, meskipun ia belum membayar kifarat.
Dan mengenai firman Allah SWT, (فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ) “Maka merdekanlah hamba sahaya” maksudnya memerdekakan hamba sahaya secara tunai, sebelum keduanya bercampur. Hamba sahaya di sini bersifat mutlak dan tidak terikat pada keimanan. Artinya, tidak harus hamba sahaya yang beriman. Sedangkan kifarat dalam kasus pembunuhan karena tidak disengaja, maka hamba sahaya yang mesti dimerdekakan adalah hamba sahaya yang beriman. Imam Asy-Syafi’i menafsirkan hamba sahaya yang disebut secara mutlak di sini adalah hamba sahaya yang beriman, sebab kewajiban membayar kifarat itu adalah sama. Dalam hal tersebut, Imam Asy-Syafi’i memperkuat pendapatnya dengan hadits yang diriwayatkan dari Imam Malik dengan sanadnya dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami mengenai kisah seorang hamba sahaya perempuan yang berkulit hitam bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Merdekakanlah hamba sahaya itu karena sesungguhnya ia adalah wanita mukminah.” Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Al-Musnad dan dalam Shahih Muslim.
Dan mengenai firman Allah SWT, (مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا) “Sebelum keduanya bercampur.” Ibnu Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan bercampur pada ayat tersebut (أَن يَتَمَاسَّا) adalah berhubungan badan. Demikian pula dengan yang dikemukakan oleh ‘Atha, Az-Zuhri, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan. Az-Zuhri mengemukakan, “Pelaku zhihar tidak boleh mencium ataupun mencampuri istrinya sehingga ia membayar kifarat terlebih dahulu.”
Dalam beberapa riwayat yang ditulis oleh Ashabus Sunan dari hadits ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas bahwa ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menzhihar istriku, lalu aku mencampurinya sebelum aku membayar kifarat.” Maka Rasulullah bersabda, “Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu, lalu Rasulullah bertanya, “Apa yang menyebakan dirimu berbuat seperti itu ?” Kemudian ia menjawab, “Karena aku melihat gelang kakinya di bawah pancaran sinar rembulan.” Lalu Rasululllah bersabda, “Kalau demikian maka janganlah engkau mendekatinya lagi sampai engkau mengerjakan apa yang telah Allah perintahkan kepadamu (membayar kifarat).
Dan kelanjutan dari firman-Nya, (ذَٰلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ) “Demikianlah yang diajarkan kepadamu.” Maksudnya, Allah SWT melarang kepada pelaku zhihar untuk bercampur sebelum ia menunaikan kifaratnya. (وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِير) “Dan Allah Maha teliti atas apa yang kamu kerjakan.” Maksudnya, Maha teliti karena Allah SWT mengetahui apa yang terbaik bagi orang Mukmin dan sangat memahami keadaan orang-orang Mukmin.
            Dan firman Allah SWT yang berikutnya:
(فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا) “Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan hamba sahaya maka (wajib baginya) shaum dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka (wajib baginya) memberi makan kepada 60 orang miskin.” Dalam beberapa hadits banyak yang mengungkapkan bahwa pelaksanaan kifarat itu mesti berurutan, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Ash-Shahihain mengenai kisah seorang suami yang mencampuri istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan. (ذَٰلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ) “Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Maksudnya, Allah telah menetapkan hukum dalam  masalah zhihar untuk dilaksanakan (kifaratnya) oleh pelaku zhihar kalau pelaku zhihar tersebut benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
            Kemudian firman-Nya, (وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ) Dan itulah hukum-hukum Allah.” Yakni, terhadap segala hal yang telah diharamkan oleh Allah kita harus berhati-hati jangan sampai terjerumus kepada apa yang telah Allah haramkan. Lanjutan ayat tersebut, (وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ) “Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang sangat pedih.” Yaitu, orang-orang yang tidak beriman dan tidak menjalankan hukum-hukum syari’at. Dan sesungguhnya peristiwa yang akan terjadi tidak akan seperti  apa yang orang-orang kafir kira, tetapi kelak mereka akan mendapatkan adzab yang sangat pedih baik di dunia maupun di akhirat.
2.6.2  Hukum Zhihar
          Semua para Ulama sepakat bahwa hukum zhihar adalah haram. Sebagaimana dalam firman Allah SWT disebutkan bahwa zhihar termasuk ucapan yang mungkar dan dusta.
            Perkataan zhihar disebut perkataan munkar karena merupakan bentuk pelecehan dan penghinaan terhadap kaum wanita dan pengharaman terhadap sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT. Dan dikatakan perkataan dusta karena seorang istri bukanlah seorang ibu dan seorang istri tidak layak disamakan dengan ibu sebab seorang istri tidak memiliki persamaan langsung dengan seorang ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengurusinya sejak kecil hingga dewasa.
          2.6.3  Kifarat Zhihar
          Dalam Q.S Al-Mujadilah ayat 3-4 diterangkan ada tiga tahap kifarat bagi pelaku zhihar. Tahap pertama harus diupayakan melaksanakannya. Kalau tidak sanggup atau karena sudah tidak zaman maka, ia harus melaksanakan tahap yang ke dua. Tapi apabila tahap kedua juga tidak sanggup melaksanakannya, wajib ia menjalankan tahap ketiga. Tahap-tahap itu ialah :
1.                 Memerdekakan hamba sahaya sebelum melaksanakan persetubuhan kembali. Ini adalah ketetapan Allah yang ditetapkan bagi seluruh orang yang beriman, agar mereka berhati-hati terhadap perbuatan mungkar dan membayar kifarat itu sebagai penghapus dosa. Allah mengetahui dan selalu memperhatikan perbuatan hamba-Nya dan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya selama hamba tersebut mau menghentikan perbuatannya dan melaksanakan hukum-hukum Allah. Di zaman sekarang perhambaan telah dihapus dari permukaan bumi, karena itu kifarat tingkat pertama ini tidak mungkin dapat dilaksanakan. Memerdekakan hamba sahaya sebagai kifarat, termasuk salah satu cara dalam agama Islam untuk menghilangkan perhambaan, yang pernah membudaya di kalangan bangsa-bangsa di dunia, seperti yang terjadi di Amerika, Eropa, dan lain-lain. Oleh karena itu, Islam adalah agama yang berusaha menghapus perhambaan dan menetapkan cara-cara untuk melenyapkannya dengan segera.
2.                 Jika yang pertama tidak dapat dilakukan, hendaklah ia melaksanakan shaum selama dua bulan berturut-turut. Berturut-turut merupakan salah satu syarat dari shaum tersebut. Hal ini berarti jika dalam waktu dua bulan kemudian ada hari yang tidak terlaksananya shaum (batal) maka shaumnya itu mesti kembali lagi ke semula, kecuali apabila disebabkan karena perjalanan jauh (safar) atau sakit maka ia harus mengganti shaumnya itu di dalam waktu dua bulan tersebut. Shaum itu harus dilakukan sebelum melakukan persetubuhan suami-istri.
3.                 Jika yang kedua tidak juga dapat dilaksanakan, maka dilakukan tahap ketiga, yaitu memberi makan kepada enam puluh orang miskin.
2.7     Hikmah dilarangnya Zhihar
          Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa pada zaman Jahiliyah apabila seorang suami berkata kepada istrinya, “kamu bagiku bagaikan punggung ibuku” hal tersebut adalah karena ia bermaksud untuk mengharamkan istrinya sebagaimana haramnya ia menggauli ibu kandungnya sendiri.
            Oleh karena itu, ini adalah merupakan suatu penghinaan dan pelecehan terhadap kaum wanita. Hukum syara’ telah melarang perbuatan yang demikian dan menganggap hal tersebut merupakan suatu perkara yang mungkar dan dusta. Sebagaimana tercantum dalam ayat di atas.
            Walau bagaimanapun hukum syara’ tidak akan membiarkan perilaku zhihar dibiarkan begitu saja, bahkan hukum syara’ akan mengambil tindakan tegas terhadap pelakunya dengan mewajibkan kifarat, supaya pelaku zhihar merasa jera atas apa yang telah mereka perbuat dan tidak mengulanginya lagi. Hal ini sangat berlainan sekali dengan apa yang berlaku di zaman Jahiliyah yang menganggap bahwa perempuan bebas diberlakukan seperti apapun.









BAB III
PENUTUP

3.1      Kesimpulan
            Khaulah binti Tsa’labah mengadukan kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah dizhihar oleh suaminya yang bernama ‘Aus bin Shamit lalu ia memohon kepada Rasulullah agar Allah SWT memberikan ketetapan hukum terhadap tindakan suaminya. Maka Allah pun menurunkan ketetapan hukum tersebut.
            Allah mencela suami yang menzhhar istri karena tindakan itu berarti mengada-adakan sesuatu yang bertentangan dengan hukum Allah dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan-Nya.
            Suami yang menzhihar istrinya, kemudian ia bermaksud untuk mencampurinya maka sebelum itu ia harus membayar kifarat terlebih dahulu, yaitu :
a.         Memerdekakan hamba sahaya.
b.        Jika tidak sanggup memerdekakan hamba sahaya, maka diganti dengan shaum selama dua bulan berturut-turut.
c.         Jika tidak sanggup shaum selama dua bukan berturut-turut, maka diganti dengan member makan kepada enam puluh orang miskin.
            Pihak yang membayar kifarat ialah yang melakukan zhihar yaitu suami, dan ketentuan membayar kifarat itu adalah agar kaum muslimin berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya, sehingga tidak melanggar hukum Allah. Serta berhati-hati dalam melontarkan kata-kata yang bisa menyakiti hati istrinya.



3.2      Saran-saran

            Penullis menyadari bahwa dalam penyusunan karya tulis ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, sudilah kiranya para pembaca memberikan kritik dan saran untuk kebaikan bersama.
            Adapun saran yang ingin penulis kemukakan pada akhir penulisan akhir karya tulis ini, diantaranya :
1.        Hendaklah kita semua bias menjadi umat Islam yang Ittiba’ yang senantiasa melaksanakan amal ibadah yang sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW.
2.        Janganlah kita menjadi orang yang Taqlid yang melaksanakan amal ibadah sedangkan kita tidak mengetahui asal muasal perintah yang diberikan.


















_________________________________
MU’ALLIMIEN PESANTREN PERSATUAN ISLAM 67 BENDA                                     Jalan Benda Nagarasari No.15 Telp. (0265) 330006-332598 Tasikmalaya                                   Kode Pos 46132, Website : www.persis67benda.com                                                                         2011/2012

DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syarifa’in, Khadim Al-Haraman
1971. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Lembaga percetakan Al-Qur’an Raja Fahd. Jakarta

Al-Amir Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail
2009, Subulus Salam. Jilid II. Darus Sunnah. Jakarta Timur

Al-Qurthubi Al-Andalusi, Ibnu Rusydi
T.t, Bidayatul Mujtahid. Jilid II. Darul Fikroh. Kairo, Mesir

Katsir, Ibnu
2008. Tafsir Ibnu Tafsir. Jilid VIII.

Kamal bin Sayyid Salim, Abu Malik
2009. Fiqih Sunnah untuk Wanita. Al-I’tishom. Jakarta Timur

Hajar Al-Asqalani, Al-Hafizh Ibnu
2008. Terjemahan Bulughul Maram. Cet.ke-III. Ahmad Hasan. Bandung


2004. Tasfir Al-Bayaan. Cet.ke-IV.

2002. Terjemah Subulus Salam.

2010. Tafsir Al-Qur’an. Jilid XII. Departemen Agama RI. Bandung. Jawa Barat

Zakaria, Aceng
2004. Tarbiyatun Nisa. Cet IV. Ibn azka press. Garut

islamwiki.blogspot.com
jokosiswanto77.blogspot.com
saif1924.wordpress.com
www.kajianislam.net
muslimah.or.id







DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap                    : Faisal Umar Muhtar
Tempat/tanggal/Lahir       : Bandung, 31 Agustus 1993
Nama Ayah                          : Agus Gunawan Muhtar
Pekerjaan                             : Wiraswasta
Nama Ibu                              : Nasvitri Yulinda Asih
Pekerjaan                             : Ibu Rumah Tangga
Alamat Lengkap                  : Jalan Dacota 4 No.13 RT 01 RW 23  Melong Green                                                             KOTA CIMAHI 40534

RIWAYAT PENDIDIKAN
1999-2000               : TK Al-Kautsar
2000-2006               : SDN Perumnas Cijerah 3
2006-2009               : Tsanawiyah Pesantren Persatuan Islam 45 Rahayu
2009-2012               : Mu’allimien Pesantren Persatuan Islam 67 Benda

PENGALAMAN ORGANISASI
2006-2007               : Anggota RG Tsanawiyah
2007-2008               : Ketua Bidgar Penalaran dan Intelektual RG Tsanawiyah
2008-2009               : Bendahara Umum RG Tsanawiyah
2009-2010               : Anggota RG Mu’allimien
2010-2011               : Ketua Bidgar Bahasa RG Mu’allimien

SURAT KEPUTUSAN